Dahulu kala di sebuah desa hiduplah seorang tuan tanah yang licik dan serakah, yang memiliki banyak tanah di desa tersebut.
Meski sudah memiliki tanah yang luas, dia tidak pernah puas dan tetap serakah.
Terkadang dia juga akan berkolusi dengan pejabat setempat, untuk dengan cara curang, menguasai tanah orang lain yang mungkin bisa dia rebut.
Di desa yang sama hiduplah seorang Biksu tua di sebuah kuil yang kecil. Ada sebidang tanah kecil di dekat kuil itu, yang biasa digunakan oleh Biksu, untuk menanam tanamannya sendiri, untuk memenuhi kebutuhannya.
Suatu hari, Tuan tanah mendapat kabar tentang hal tersebut, dia tahu ada seorang Biksu yang sudah tua, yang mengelola sebidang tanah, yang tidak jelas kepemilikannya.
Karena keserakahannya, Tuan Tanah ingin memiliki tanah itu.
Dia mengatakan bahwa biksu sudah tua, dan membujuk Biksu tua tersebut agar menjadikannya pemilik tanah di dekat kuil, kalau-kalau Biksu tua itu meninggal nanti.
Namun upayanya tidak berhasil, Biksu tua tidak mau menyerahkan tanah itu kepadanya.
Tuan Tanah tidak menyerah, dia kemudian menyuap pejabat pemerintah dan memalsukan surat kepemilikan atas namanya.
Kemudian suatu hari, bersama dengan pejabat pemerintah, dia mengunjungi Biksu tua, itu dilakukan untuk mengklaim kepemilikannya atas tanah tersebut.
Biksu tua terkejut mengetahui hal ini, dan mengaku bahwa dia telah tinggal di sana sepanjang hidupnya, dia mewarisi tanah itu dari pendahulunya, dan itu sudah berlangsung selama beberapa generasi.
Namun, bahkan setelah mengajukan pembelaan ke pengadilan, dia tidak bisa mendapatkan kembali tanahnya.
Biksu tua akhirnya menyerah, dia bersiap untuk mengosongkan tanah itu, sementara tuan tanah berdiri di sana menunggunya pergi.
Saaat akan pergi, Biksu tua berkata kepada tuan tanah
"Kamu telah mengambil semuanya dariku hari ini. Seluruh hidupku dihabiskan di sini dan sekarang aku harus pergi.
Tanah ini sangat berharga bagiku. Tolong izinkan aku membawa satu keranjang berisi tanah ini untuk kusimpan, sehingga aku bisa menyimpannya di sampingku.
Dengan begitu, aku akan selalu memiliki aroma tempat ini bersamaku, dan aku bisa meninggal dengan tenang."
Tuan tanah itu menyeringai dan berpikir, "Aku mendapatkan tanah ini bahkan tanpa membayarnya. Baiklah biar saja biksu ini mengambil sedikit tanah sehingga dia bisa pergi dengan tenang."
Tuan tanah menjawab, "Tentu, Anda dapat mengisi keranjang Anda, sebanyak yang Anda suka."
Biksu tua itu mulai mengisi keranjangnya dengan tanah, dia mengisinya sampai penuh, bahkan terlalu penuh hingga ia kesulitan untuk membawanya di pundaknya.
Dia berkata kepada pemilik rumah, “Tuan, bisakah kamu membantuku meletakkan keranjang ini di atas kepalaku?”
Tuan tanah datang untuk membantunya dan berkata, “Tidakkah Anda berpikir dulu sebelum Anda mengisi keranjang ini hingga terlalu penuh? Anda bahkan kesulitan untuk mengangkatnya, lalu bagaimana Anda bisa membawa ini bersama Anda?”
Biksu tua menjawab, “Tuan, seluruh tanah ini adalah milikku, tanah ini diwariskan untukku. Aku menghabiskan seluruh hidupku di sini, tapi bahkan saat ini, ketika aku masih bernapas, aku kesulitan untuk membawa sekeranjang tanah dari sini.
Saat aku meninggal nanti, pasti, tidak akan ada sedikitpun tanah yang mampu aku bawa.
Sementara, Anda memiliki begitu banyak tanah milik orang lain. Aku tidak bisa membayangkan, bagaimana kamu akan membawa semuanya?”
Pemilik rumah berdiri di sana dengan tercengang. Kata-kata Biksu tua itu membuatnya sadar akan keserakahannya.
Dia memang memiliki banyak tanah, namun kini dia berpikir, bahwa semua tanah miliknya, pada suatu hari, harus dia tinggalkan.
Menyadari kesalahannya, dia meminta maaf kepada Biksu tua, dan mengembalikan tanah itu kepadanya.
Kita seharusnya tidak serakah dan menipu orang lain untuk suatu perolehan. Karena apapun yang kita miliki di dunia ini, cepat atau lambat, pasti, harus kita tinggalkan dan kita tidak akan bisa membawa sedikitpun dari semua benda duniawi tersebut.