Aktivitas agresif pertambangan nikel di Maluku Utara, khususnya di Halmahera Timur telah menyebabkan kehancuran masyarakat adat setempat. Orang Tobelo Dalam, yang hidup di hutan Halmahera terus terusik. Hutan mereka perlahan-lahan hilang berubah total menjadi pertambangan nikel maupun Kawasan industri nikel yang dikuasai para investor dari China. Sebagian masih bertahan, banyak juga yang terpaksa pindah ke tempat baru. Mereka terancam musnah akibat pertambangan nikel yang ugal-ugalan, bahkan ada indikasi etnogenosida.
Demikian salah satu highlight dari hasil penelitian Transparency International Indonesia (TI Indonesia) atas kebijakan hilirisasi pertambangan di Indonesia yang dirilis di Jakarta pada 26 Februari 2024. TI Indonesia memandang kebijakan hilirisasi di sektor pertambangan, khususnya nikel sangat perlu untuk dievaluasi karena terindikasi mengingkari prinsip keadilan sosial-ekologis serta marak dengan praktik korupsi dalam aspek tata kelolanya. Realitas ini ditemukan oleh tim peneliti ketika melakukan riset terkait dengan kawasan pertambangan nikel di Halmahera Timur dan Halmahera Tengah yang sebagian besar dikuasai China.
Ancaman Etnogenosida
Selama ini, Indonesia dikenal sebagai penghasil nikel terbesar di dunia. Tercatat cadangan nikel yang telah dieksplorasi di Tanah Air mencapai 5,2 miliar ton, dengan mayoritas berasal dari wilayah Sulawesi Tenggara dan Gugus Kepulauan Halmahera. Sejak Presiden Joko Widodo mengumumkan kebijakan hilirisasi untuk nikel, ekspor nikel Indonesia telah meningkat secara signifikan sejak tahun 2020 hingga sekarang. Posisi strategis Halmahera dalam rantai pasok hilirisasi nikel di Indonesia menjadi titik tolak mengapa riset ini menjadi penting.
Salah satu perusahan nikel terbesar di Maluku Utara adalah PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP), merupakan perusahaan patungan dari tiga investor China yaitu Tsingshan, Huayou, dan Zhenshi. Kawasan industri IWIP menelan total investasi senilai USD10 miliar, yang merupakan realisasi dari perjanjian antara Eramet group (Perancis) dan Tsingshan. Bersama dengan partner lokal, yaitu PT Aneka Tambang (ANTAM) Tbk pada tahun 2018 mengembangkan deposit memproduksi smelter nikel dan 30kt/Ni Nickel Pig Iron.Selain memfasilitasi pemurnian logam, kawasan yang masuk Proyek Strategis Nasional ini juga bertujuan menarik investor asing untuk membangun fasilitas pengolahan industri hilir.
Namun demikian, pandangan pesimis terhadap implementasi kebijakan hilirisasi diungkapkan oleh Eko Cahyono, salah satu peneliti yang dikirim oleh TII untuk melihat secara langsung kondisi ipertambangan nikel di Halmahera Timur dan Tengah. Menurutnya, alih-alih menjadi solusi energi terbarukan, tambang nikel di kawasan tersebut justru merampas ruang hidup komunitas masyarakat lokal dengan modus isu-isu lingkungan dan konservasi (green grabbing). Selain itu beragam dampak negatif mulai bermunculan semenjak tambang nikel berkembang secara masif, dari mulai krisis sosial-ekologis, konflik agraria, hingga pelanggaran HAM.
“Masifnya ekspansi pertambangan nikel di Halmahera Timur dan Tengah telah membuka babak baru perubahan kehidupan politik, sosial-budaya dan ekonomi masyarakat di kawasan ini. Perubahan ini telah berdampak pada daur hidup masyarakat secara menyeluruh. Akibatnya, terjadi perubahan cara pikir, cara tindak, dan perilaku politik-ekonomi massal di kawasan terdampak ekspansi Nikel, terlebih di desa-desa lingkar tambang di Halteng dan Haltim,” ungkap Eko Cahyono yang dalam paparannya Senin (26/2).
Desa Sagea di Halmahera Tengah merupakan salah satu desa lingkar tambang nikel yang diteliti. Di desa tersebut terdapat sebuah aliran sungai yang dulunya jernih kini berubah menjadi kecoklatan dan berlumpur. Hamparan lahan pertanian yang dulunya menjadi sumber pangan masyarakat adat kini gagal panen, tertimbun lumpur dan luapan banjir dampak dari aktivitas pertambangan nikel. Dan, masyarakat adat dipaksa menyingkir dari ruang hidupnya seiring dengan ekspansi pertambangan nikel di kawasan ini yang semakin menggila.
Bagi masyarakat adat, ekspansi pertambangan nikel telah menghancurkan warisan komunitas adat mereka. Mereka kini dikepung oleh puluhan korporasi nikel. Komunitas adat semakin kehilangan ruang hidup yang mereka jaga turun temurun. Kondisi yang hampir sama juga ditemukan oleh tim peneliti TII di Halmahera Timur. Penyerobotan tanah ulayat melahirkan konflik dengan perusahaan nikel. Pemberian izin kepada perusahaan nikel ditenggarai sarat dengan penyalahgunaan kekuasaan yang mengancam masyarakat adat, Suku Tobelo Dalam. Mereka dipaksa menyerahkan tanahnya dengan menggunakan aturan yang hanya menguntungkan korporasi. Ketika masyarakat melawan, berbagai intimidasi dilakukan dengan menggunakan kekuatan aparat yang mengarah pada praktek etnogenosida. Komunitas suku ini pun kini semakin terpinggirkan baik dari aspek ekonomi, sosial, dan lingkungannya.
“Kami mengartikan secara substantif, pemusnahan atau hilangnya atau matinya banyak komunitas di suatu wilayah akibat kebijakan tertentu. Pertambangan terutama nikel menyebabkan semakin musnahnya kelompok Tobelo Dalam, sekarang mereka tinggal sedikit. Ada sembilan perusahaan tambang nikel yang beroperasi disana dan tinggal menunggu waktu mereka kehilangan rumah abadi mereka. Ini yang disebut etnogenosida. Kami kuatir kalau tidak dihentikan, dan tidak ada kepedulian terhadap masyarakat adat disana, mereka akan musnah,” ujar Eko Cahyono yang sehari-haru berkiprah di Sajogyo Institute kepada ADIL News.
Pemerintah Mesti Tegas
Tak dapat dipungkiri sektor pertambangan yang bernilai ekonomi tinggi berimplikasi terhadap tingginya praktik korupsi. Keterlibatan aktor di level nasional dan lokal mengindikasikan kuatnya pengaruh kekuasaan dalam terhadap kebijakan pertambangan. Danang Widoyoko, Sekjen TI Indonesia mengkritisi gagalnya upaya pemerintah mencegah kasus korupsi di sektor pertambangan. “Upaya pemerintah dalam mencegah praktik korupsi dalam perizinan di sektor tambang terbukti gagal, yang terjadi justru penyempitan terhadap ruang akuntabilitas dan memperlemah aspek-aspek integritas,” ungkap Danang Widoyoko.
Kebijakan hilirisasi pada kenyataannya memberikan privilege dan “kenyamanan” dalam investasi pertambangan nikel. Bahkan untuk memastikan kebijakan tersebut dijalankan, sejumlah pejabat penting di tingkat pusat maupun daerah terlibat aktif dalam menyiapkan karpet merah untuk investor China. TI Indonesia mengidentifikasi 5 (lima) lingkar aktor yang saling berkelindan didalam gurita dan relasi kuasa elit politik dan oligarki nikel di Halmahera Tengah dan Halmahera Timur. Mereka yang bermain adalah sebagai berikut; (1) Aktor di Lingkaran Istana; (2) Aktor di level Menteri-Menteri; (3) Lingkaran Mantan Jendral hingga mantan wakil presiden; (4) Lingkaran konglomerat dan politisi; dan (5) Para pejabat daerah.
Hal itu relevan dengan laporan terbaru dari Climate Rights International (CRI), yang dirilis pada 17 Januari 2024 lalu, yang menunjukan kompleks industri nikel bernilai miliaran dolar di Maluku Utara, yang dikelola oleh perusahaan-perusahaan asal China, telah melakukan pelanggaran HAM, dan menyebabkan deforestasi yang signifikan. Dalam laporan berjudul “Nikel Dikeduk: Dampak Industri Nikel di Indonesia Pada Manusia dan Iklim” itu diungkap bahwa perusahaan-perusahaan tersebut, bekerja sama dengan Polri dan TNI, telah melakukan penyerobotan lahan dan intimidasi terhadap penduduk lokal untuk memuluskan hilirisasi nikel.
Selain menganalisa gap implementasi, riset TII ini juga menyampaikan rekomendasi kepada pemerintah pusat dan daerah untuk mengoreksi paradigma politik kebijakan hilirisasi sumber daya alam agar lebih berkeadilan dan berkelanjutan sesuai dengan pinsip-prinsip anti korupsi dan penegakan HAM. Danang Widoyoko mengajak kita untuk mencari solusi bagaimana supaya kutukan sumber daya alam dari hilirisasi nikel ini bisa dihindari, dan sebaliknya benar-benar bisa memberikan nilai tambah yang berarti bagi pendapatan negara, kesejahteraan rakyat Indonesia, dan pengakuan hak-hak masyarakat adat setempat.
Sebagai penanggap, Ahmad Ashov Birry dari Trend Asia mengingatkan untuk mengatasi kutukan sumber daya alam, pemerintah perlu mengatasi korupsi lebih serius lagi, karena masalah itu yang merusak sendi kehidupan masyarakat, sehingga benefitnya tidak dirasakan masyarakat. Diakuinya, sejauh ini investasi smelter yang mengolah barang mentah nikel menjadi seperempat jadi itu didominasi oleh China, dan hampir pembeli tunggalnya adalah China, oleh karena itu nilai tambahnya lebih banyak lari ke China. “Untuk itu yang harus kita atasi adalah tata kelolanya agar nilai tambahnya tidak lari ke luar negeri tapi juga dinikmati masyarakat kita. China bisa saja berubah kalau pemerintah kita tegas,” ujarnya. (Fadjar)